clixsense

Kamis, 29 Maret 2012

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KERUSAKAN INTERAKSI SOSIAL : MENARIK DIRI

A. PENGERTIAN
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel, tingkah maladaptif dan mengganggu fungsi individu dalam hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kerusakan sosial adalah suatu keadaan seseorang berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif (Towsend, 1998).
Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain yang salah satunya mengarah pada perilaku menarik diri.
B. RENTANG RESPON SOSIAL
Waktu membina suatu hubungan sosial, setiap individu berada dalam rentang respons yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respons yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat yang secara umum berlaku, sedangkan respons maladaptif merupakan respons yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat. Respons sosial maladaptif yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah menarik diri, tergantung (dependen), manipulasi, curiga, gangguan komunikasi, dan kesepian.

Gambar 2. Rentang Respons Sosial
Rentang respons sosial yang adaptif, adalah sebagai berikut :
Menyendiri (solitude), merupakan respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya. Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan kegiatan.
Otonomi, merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
Bekerja sama (mutualisme) adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.
Saling tergantung (interdependen), merupakan kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.
Dalam kehidupan sehari-hari respons maladaptif yang sering ditemukan antara lain : menarik diri, tergantung (dependen), manipulasi, curiga.
Menarik diri, merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
Tergantung (dependen), terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses.
Manipulasi, merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
Curiga, terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya dengan orang lain. Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda cemburu, iri hati, dan berhati-hati. Perasaan individu ditandai dengan humor yang kurang, dan individu merasa bangga dengan sikapnya yang dingin dan tanpa emosi.
C. PENGKAJIAN KLIEN KERUSAKAN INTERAKSI SOSIAL : MENARIK DIRI
Untuk membantu klien dengan kerusakan interaksi sosial : menarik diri, digunakan pendekatan proses keperawatan. Tahap pertama adalah pengkajian yang meliputi : faktor predisposisi, faktor pencetus, tingkah laku klien dan mekanisme koping.
1. Faktor predisposisi
Beberapa faktor predisposisi (pendukung) terjadinya kerusakan interaksi sosial : menarik diri, yaitu :
a. Faktor perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergantung dari pengalaman selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Kurangnya stimulasi kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu “pengasuh” pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya.
b. Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
c. Faktor sosial-budaya
Faktor sosial-budaya dapat menjadi faktor pendukung terjadinya gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya anggota keluarga yang tidak produktif diasingkan dari orang lain (lingkungan sosialnya).
2. Stresor presipitasi
Stressor presipitasi terjadinya gangguan kerusakan interaksi sosial adalah :
a. Stresor sosial-budaya
Stresor sosial-budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam berhubungan, misalnya keluarga yang labil, dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah diyakini akan menimbulkan berbagai masalah kerusakan interaksi social (menarik diri).
3. Tingkah laku klien menarik diri
a. Kurang spontan.
b. Apatis (acuh terhadap lingkungan).
c. Ekspresi wajah kurang berseri (ekspresi sedih).
d. Afek tumpul
e. Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri
f. Komunikasi verbal menurun atau tidak ada. Klien tidak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat.
g. Mengisolasi diri (menyendiri). Klien tampak memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan.
h. Tidak atau kurang sadar dengan lingkungan sekitarnya.
i. Pemasukan makanan dan minuman terganggu.
j. Retensi urine dan faeces.
k. Aktifitas menurun.
l. Kurang energi (tenaga).
m. Harga diri rendah.
n. Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
4. Mekanisme koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan pada menarik diri adalah regresi, represi dan isolasi.
D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
KERUSAKAN INTERAKSI SOSIAL : MENARIK DIRI
E. RENCANA KEPERAWATAN
TUM :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
TUK 1
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria Evaluasi :
Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Rencana Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar
TUK 2
Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri yang berasal dari diri sendiri, orang lain atau lingkungan
Rencana Tindakan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau tidak mau bergaul.
3. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang muncul.
4. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.
TUK 3
Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
Kriteria evaluasi :
a. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain, misalnya : banyak teman, tidak sendiri, bisa diskusi dll.
b. Klien dapat menyebutkan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, misalnya : sendiri, tidak punya teman, sepi dll.
Rencana Tindakan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain.
2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain.
3. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
4. Beri reinforcemant positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
5. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
6. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
7. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
8. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
TUK 4
Klien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat mendemonstrasikan hubungan sosial secara bertahap antara : (Klien-Perawat, Klien-Perawat-Perawat lain, Klien-Perawat-Perawat lain-Klien lain, Klien-Keluarga-Kelompok-Masyarakat).
Rencana Tindakan :
1. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
2. Dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
3. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
4. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan.
5. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu.
6. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan.
7. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan.
TUK 5
Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain untuk dirh sendiri dan orang lain
Rencana Tindakan :
1. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain.
2. Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain.
3. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain.
TUK 6
Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga,
Kriteria evaluasi :
Keluarga dapat : menjelaskan perasaannya, menjelaskan cara merawat klien menarik diri, mendemonstrasikan cara perawatan klien menarik diri, berpartisipasi dalam merawat klien menarik diri
Rencana Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
2. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang : perilaku menarik diri, penyebab menarik diri, akibat yang akan terjadi, cara keluarga menghadapi klien menarik diri.
3. Dorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada klien untuk berkomunikasi dengan orang lain.
4. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu.
5. Beri reinforcement positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga
TUK 7
Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik,
Kriteria evaluasi :
a. Klien menyebutkan manfaat, kerugian, nama, warna, dosis, efek terapi dan efek samping obat
b. Klien mendemonstrasikankan penggunaan obat dengan benar.
c. Klien menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi
Rencana Tindakan :
1. Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis, cara, efek terapi dan efek samping penggunaan obat.
2. Pantau klien saat penggunaan obat
3. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar
4. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter
5. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada perawat/dokter jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTRA PUSTAKA
Stuart G.W. and Sundeen (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed). St. Louis Mosby Year Book.
Stuart dan Laraia (2001). Principle and Practice of Psychiatric Nursing, Edisi 6, St. Louis Mosby Year Book.
Townsend. (1998). Diagnosis Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri : pedomanan Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan EGC, Jakarta (terjemahan).

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, ditunjukkan dengan perilaku actual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang (Maramis, 2004).
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
Perilaku kekerasan atau amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut, manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain.
Perilaku kekerasan juga dapat diartikan sebagai agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak saat lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus menerus, maka ia menampakan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan nafasnya (Barry, 1998). Setelah anak bertambah dewasa, maka ia akan menampakkan reaksi yang lebih keras pada saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, seperti melempar barang, menjerit, menahan nafas, mencakar, merusak atau bersikap agresif terhadap barang mainannya. Bila reward dan punishment tidak dijalankan, maka ia cenderung mengganggap perbuatan tersebut benar.
Kontrol lingkungan seputar anak yang tidak berfungsi dengan baik, menimbulkan reaksi agresi pada anak yang akan bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga bila ia merasa benci dan frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan bertindak angesif. Hal ini akan bertambah apabila ia merasa kehilangan orang-orang yang ia cintai atau orang yang berarti. Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau kepanikan (takut). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana agresif verbal disuatu sisi dan kekerasan disisi yang lain.
C. RENTANG RESPON PERILAKU KEKERASAN
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Rundeen, 1995). Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berflutuasi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif.

Gambar 3. Rentang Respon Marah
D. FAKTOR PREDISPOSISI
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu :
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanan yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permesive).
4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan system limbic, lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.
E. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.
F. TANDA DAN GEJALA
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa ke rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Tanda dan gejala perilaku kekerasan didapatkan dari observasi dan wawancara.
1. Observasi : muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat. Sering pula tampak klien memaksakan kehendak seperti : merampas makanan, memukul jika tidak senang.
2. Wawancara : diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan klien.
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
PERILAKU KEKERASAN
H. RENCANA KEPERAWATAN
TUM :
Klien tidak melakukan tindakan kekerasan
TUK 1
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria Evaluasi :
Klien mau membalas salam, menjabat tangan, menyebutkan nama, tersenyum, kontak mata.
Rencana Tindakan :
1. Beri salam /panggil nama
2. Sebutkan nama perawat.
3. Jelaskan maksud hubungan interaksi
4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
5. Beri rasa aman dan sikap empati.
6. Lakukan kontak singkat tapi sering.
TUK 2
Klien dapat mendefinisikan penyebab perilaku kekerasan,
Kriteria evaluasi :
Klien mengungkapkan perasaannya, mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal (dari diri sendiri, lingkunga/orang lain).
Rencana Tindakan :
1. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
2. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/kesal.
TUK 3
Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah/jengkel, menyimpulkan tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami.
Rencana Tindakan :
1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal
2. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami klien.
TUK 4
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, bermain peran dengan perilaku kekerasan dan dapat dilakukan cara yang biasa dapat menyelesaikan masalah atau tidak.
Rencana Tindakan :
1. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien.
2. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
3. Bicarakan dengan klien, apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
TUK 5
Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien
Rencana Tindakan :
1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien.
2. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan.
3. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”
TUK 6
Klien dapat mendefinisikan cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan, Kriteria evaluasi :
Klien dapat melakukan cara berespons terhadap kemarahan secara konstruktif.
Rencana Tindakan :
1. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
2. Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
3. Diskusikan dengan klien cara lain sehat :
a. Secara fisik : tarik nafas dalam, jika sedang kesal/memukul bantal/kasur atau olahraga atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
b. Secara verbal : katakana bahwa anda sedang kesal/tersinggung/jekel (saya kesal anda berkata seperti itu)
c. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif. Latihan manajemen perilaku kekerasan.
d. Secara spiritual : anjurkan klien sembahyang berdoa/ibadah : meminta pada Tuhan untuk diberi kesabaran, mengadu pada Tuhan tentang kejengkelan.
TUK 7
Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan : fisik (tarik nafas dalam, olahraga, pukul kasur/bantal), verbal (mengatakan secara langsung dengan tidak menyakiti), spiritual (sembahyang, berdoa).
Rencana Tindakan :
1. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien
2. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
3. Bantu klien menstimulasikan tersebut (role play).
4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
5. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel/marah
6. Susun jadwal melakukan cara yang telah dipelajari
TUK 8
Klien dapat menggunakan obat dengan benar,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menyebutkan obat-obat yang diminum dan kegunaannya, klien dapat minum obat sesuai dengan program pengobatan
Rencana Tindakan :
1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien.
2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizing dokter.
3. Jelaskan prinsip benar minum obat.
4. Jelaskan manfaat minum obat dan efek obat yang diperhatikan.
5. Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.
6. Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan efek yang tidak menyenangkan.
7. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.
TUK 9
Klien mendapat dukungan keluarga mengontrol perilaku kekerasan,
Kriteria evaluasi :
Keluarga klien dapat : menyebutkan cara merawat klien yang berperilaku kekerasan, mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien.
Rencana Tindakan :
1. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
3. Jelaskan cara-cara merawat klien :
a. Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif.
b. Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.
c. Membantu klien mengenal penyebab marah
4. Bantu keluargamendemostrasikan cara merawat klien.
5. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.
TUK 10
Klien mendapat perlidungan dari lingkungan untuk mengontrol perilaku kekerasan
Rencana Tindakan :
1. Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru, nada suara rendah, tunjukkan kepedulian.
2. Lindungi agar klien tidak mencederai orang lain dan lingkungan.
3. Jika tidak dapat diatasi lakukan : pembatasan gerak atau pengekangan.
DAFTAR PUSTAKA
Maramis, W.F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 9, Airlangga University Press, Surabaya.
Stuart G.W. and Sundeen (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed). St. Louis Mosby Year Book.
Stuart dan Laraia (2001). Principle and Practice of Psychiatric Nursing, Edisi 6, St. Louis Mosby Year Book.
Townsend. (1998). Diagnosis Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri : pedomanan Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan EGC, Jakarta (terjemahan).
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Refika Aditama, Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM

A. PENGERTIAN
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. (Keliat, 1999).
Waham adalah keyakinan yang salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan keyataan tetapi dipertahankan dan tidak dapat dirubah secara logis oleh orang lain, keyakinan ini berasal dari pemikiran klien dimana sudah kehilangan control (Depkes RI, 1994).
B. JENIS-JENIS WAHAM
1. Waham kebesaran
Suatu kenyataan palsu dimana seorang memperluas atau memperbesar kepentingan dirinya, baik kualitas tindakan/kejadian/orang disekelilingnya, dalam bentuk tidak realistik. Waham ini timbul akibat perasaan yang tidak wajar, tidak aman dan rasa rendah diri yang secara sadar dihalangi oleh komponen ideal dan efektif dari waham itu sendiri. Isi dari waham kebesaran sering menunjukkan kekecewaan, kegagalan, dan perasaan tidak aman.
2. Waham Kejar.
Klien yakin bahwa ada orang yang sedang mengganggunya, menipunya, memata-matai atau menjelekkan dirinya.
3. Waham Depresif (menyalahkan diri sendiri).
Kepercayaan yang tidak berdasar. Menyalahkan diri sendiri akibat perbuatan-perbuatannya yang melanggar kesusilaan atau kejahatan lain. Waham depresif sering dirasakan sebagai : waham bersalah (perasaan bersalah, kehilangan harga diri), waham sakit (gangguan perasaan tubuh yang berasal dari viseral yang dipengaruhi oleh keadaan emosi), waham miskin (kehidupan perasaan nilai sosial).
4. Waham nihilistik
Suatu kenyataan bahwa dirinya atau orang lain sudah meninggal atau dunia ini sudah hancur.
5. Waham somatik (waham hipokondria).
Kecenderungan yang menyimpang dan bersifat dungu mengenai fungsi dan keadaan tubuhnya, misalnya penderita merasa tubuhnya membusuk atau mengeluarkan bau busuk.
6. Waham hubungan.
Keyakinan bahwa ada hubungan langsung antara inteprestasi yang salah dari pembicaraan, gerakan atau digunjingkan.
7. Waham pengaruh.
Keyakinan yang palsu bahwa dia adalah berlebihan dan diucapkan secara berulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
8. Waham curiga
Klien mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan atau mencederai dirinya yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.
C. PENYEBAB
1. Faktor predisposisi
a. Genetik, faktor-faktor genetik yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).
b. Neurobiologis, adanya gangguan pada kosteks pre frontal dan korteks limbic.
c. Neurotransmiter : abnormalitas pada dopamine, serotonin, dan glutamate.
d. Virus : paparan virus influenza pada trimester III.
e. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan.
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
D. PROSES TERJADINYA WAHAM
Menurut Yosep (2009), proses terjadinya waham meliputi 6 fase, yaitu :
1. Fase of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self ideal sangat tinggi.
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase envinment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
E. PENGKAJIAN
Tanda dan gejala dari perubahan proses pikir : waham, yaitu klien mengatakan dirinya sebagai seseorang besar yang mempunyai kekuatan, pendidikan atau kekayaan luar biasa, klien menyatakan perasaan dikejar-kejar oleh orang lain atau sekelompok orang, klien menyatakan perasaan mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya, menarik diri dan isolasi, sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang berlebihan, kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara memelan, ekspresi wajah datar, kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa tidak percaya kepada orang lain, gelisah.
Untuk mendapat data waham sesuai dengan jenis wahamnya, harus dilakukan observasi terhadap perilaku klien sebagai berikut :
1. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2. Waham curiga.
Meyakini bahwa seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan/mencederai dirinya, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
3. Waham Agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
4. Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
5. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai dengan keyataan.
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN
GANGGUAN PROSES PIKIR : WAHAM …………
G. RENCANA KEPERAWATAN
TUM :
Klien dapat berpikir sesuai dengan realitas
TUK 1
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria Evaluasi :
Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Rencana Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun non verbal.
b. Perkenalkan diri dengan sopan.
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar.
TUK 2
Klien dapat mengidentifikasi perasaan yang muncul secara berulang dalam pikiran klien,
Kriteria evaluasi :
Klien menceritakan ide-ide dan perasaan yang muncul secara berulang dalam pikirannya.
Rencana Tindakan :
1. Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
2. Diskusikan dengan klien pengalaman yang dialami selama ini.
3. Dengarkan pernyataan klien dengan empati tanpa mendukung/menentang pernyataan wahamnya
TUK 3
Klien dapat mengidentifikasi stressor/pencetus wahamnya,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menyebutkan kejadian-kejadian sesuai dengan urutan waktu serta harapan/kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, seperti : harga diri, rasa aman dsb. Dapat menyebutkan hubungan antara kejadian traumatis/kebutuhan tidak terpenuhi dengan wahamnya.
Rencana Tindakan :
1. Bantu klien mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi serta kejadian yang menjadi faktor pencetus wahamnya.
2. Diskusikan dengan klien tentang kejadian-kejadian traumatik yang menimbulkan rasa takut, cemas maupun perasaan tidak dihargai.
3. Diskusikan kebutuhan/harapan yang belum terpenuhi.
4. Diskusikan dengan klien cara-cara mengatasi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kejadian traumatik.
5. Diskusikan dengan klien antara kejadian traumatik dengan wahamnya.
TUK 4
Klien dapat mengidentifikasi wahamnya,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menyebutkan perbedaan pengalaman nyata dengan pengalaman wahamnya
Rencana Tindakan :
1. Bantu klien mengidentifikasi keyakinan yang salah tentang situasi yang nyata (bila klien sudah siap) :
a. Diskusikan dengan klien pengalaman wahamnya tanpa beragumentasi.
b. Katakan kepada klien akan keraguan perawat terhadap pernyataan klien.
c. Diskusikan dengan klien respon perasaan terhadap wahamnya.
d. Bantu klien membedakan situasi nyata dengan situasi yang dipersepsikan salah oleh klien.
TUK 5
Klien dapat mengidentifikasi konsekuensi dari wahamnya,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menjelaskan gangguan fungsi hidup sehari-hari yang diakibatkan ide-ide/pikirannya yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Rencana Tindakan :
1. Diskusikan dengan klien pengalaman-pengalaman yang tidak menguntungkan sebagai akibat dari wahamnya.
2. Ajak klien melihat bahwa waham tersebut adalah masalah yang membutuhkan bantuan orang lain.
3. Diskusikan dengan klien orang/tempat ia meminta bantuan apabila wahamnya timbul/sulit dikendalikan.
TUK 6
Klien dapat melakukan tehnik distraksi sebagai cara menghentikan pikiran terpusat pada wahamnya,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat melakukan melakukan aktivitas yang konstruktif sesuai dengan minatnya yang dapat mengalihkan fokus klien dari wahamnya.
Rencana Tindakan :
1. Diskusikan hobi/ aktivitas yang disukainya.
2. Anjurkan klien memilih dan melakukan aktivitas yang membutuhkan perhatian dan ketrampilan fisik.
3. Ikut sertakan klien dalam aktivitas fisik yang membutuhkan perhatian sebagai pengisi waktu.
4. Libatkan klien dalam TAK orientasi realita.
5. Beri reinforcement positif setiap upaya klien yang positif.
TUK 7
Klien dapat dukungan keluarga,
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menjelaskan tentang : pengertian waham, tanda dan gejala waham, penyebab dan akibat waham, cara merawat klien waham dan dapat mempraktekan cara merawat klien waham.
Rencana Tindakan :
1. Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung untuk mengatasi waham.
2. Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi waham.
3. Jelaskan kepada keluarga tentang : pengertian, tanda dan gejala, penyebab dan akibat, cara merawat klien waham.
4. Latih keluarga cara merawat klien waham
5. Beri pujian kepada keluarga atas ketelibatannya merawat klien.
TUK 8
Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.
Kriteria evaluasi :
Klien dapat menyebutkan manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, efek samping dan efek terapi. Klien dapat mendemonstrasikan penggunaan obat dengan benar. Klien dapat menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter.
Rencana Tindakan :
1. Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat.
2. Pantau klien saat penggunaan obat.
3. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar.
4. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter.
5. Anjurkan klien untuk konsultasi kepada dokter/perawat jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Stuart G.W. and Sundeen (1995). Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed). St. Louis Mosby Year Book.
Stuart dan Laraia (2001). Principle and Practice of Psychiatric Nursing, Edisi 6, St. Louis Mosby Year Book.
Townsend. (1998). Diagnosis Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri : pedomanan Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan EGC, Jakarta (terjemahan).
Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Refika Aditama, Jakarta.